Direktur Eksekutif Lembaga Riset Perkebunan Indonesia-Departemen Pertanian, dan
Ahli Peneliti Utama Tanah dan Pemupukan
Tekad pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla mencabut subsidi BBM
tahun lalu dengan segala konsekuensinya telah mulai diwujudkan dengan mencari
berbagai solusi tekno-sosio-ekonomi. Di antara berbagai solusi itu adalah
pengembangan bahan bakar alternatif berbahan baku nabati atau bahan bakar nabati
(biofuels).
Pemerintah serius menggarap program ini secara menyeluruh. Itu ditunjukkan oleh
terbitnya Peraturan Presiden No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan
Instruksi Presiden No 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain pada 25 Januari 2006.
Namun, perjalanan masih jauh. Karena banyak integrasi dan konsolidasi programprogram
tersebut di tingkat operasional masih terkesan latah tanpa dilandasi analisis
kritis yang lebih masuk akal.
Tanaman minyak
Di akhir tahun lalu, penulis telah menyampaikan masalah tekno-ekonomi biodiesel
berbasis minyak sawit (BMS) dalam sebuah harian nasional. Namun, karena tidak
adanya skema kebijakan yang kondusif bagi investor untuk memulai usaha ini, dan
mereka harus bersaing dengan mata dagangan bersubsidi, belum banyak pihak yang
tergerak untuk mengembangkannya. Bagi Indonesia, areal tanaman kelapa sawit seluas
lebih dari lima juta hektar saat ini merupakan kekuatan yang luar biasa dalam menjamin
ketersediaan bahan baku BMS secara berkelanjutan. Dalam kerangka kebijakan
komoditi nasional, produksi BMS menjadi salah satu opsi pengendali harga minyak
sawit kasar (CPO) ketika pasokannya berlimpah dan harga tertekan.
Kalaupun harga BMS saat ini belum kompetitif, pasar dunia membutuhkan cukup
banyak pasokan dengan harga yang sangat menarik sekitar 370 dolar AS per metrik ton.
Dengan kata lain, industri BMS perlu dikembangkan dan untuk jangka pendek
memenuhi permintaan pasar ekspor. Keuntungan bersih yang bisa diperoleh dapat
mencapai 150 dolar AS per metrik ton. Sementara itu, Indonesia beberapa bulan ini
seperti terserang wabah demam jarak pagar (jatropha curcas L) karena adanya
keyakinan bahwa tanaman ini adalah salah satu gantungan sumber energi masa depan
rakyat Indonesia.
Sayangnya, program yang sudah secara gencar digerakkan oleh pemerintah ini kurang
didukung oleh perhitungan ekonomi dan pemahaman teknis budidaya yang memadai.
Terkesan program ini terburu-buru dipromosikan, padahal kesiapan kita dalam
menyiapkan bahan tanaman masih jauh, teknik budidaya yang aman belum dikuasai,
ukuran teknologi pengolahan tingkat petani masih asumsi teoritis, dan asumsi harga
pembelian biji jarak kering yang terlalu rendah (Rp 500 per kilogram).
Persoalan ini akan muncul ketika petani didorong untuk menanam dan menjual hasilnya
kepada pihak pengolah biji dan berharap taraf hidup mereka membaik. Namun,
persoalan tidak banyak terjadi jika mereka menanam untuk kebutuhannya sendiri, baik
untuk memenuhi kebutuhan minyak bakar pengganti minyak tanah atau solar bagi
nelayan.
Selain itu, satu aspek yang perlu diwaspadai dengan sangat hati-hati adalah sifat
beracunnya minyak jarak pagar. Oleh sebab itu, sangatlah bijak jika pemerintah
melarang penanaman jarak pagar di wilayah perkebunan kelapa sawit.
Limbah listrik
Dari kegiatan industri kelapa sawit akan dihasilkan berbagai jenis limbah padat maupun
cair. Karena volume panen yang cukup tinggi per tahun, maka volume limbah yang
dihasilkan juga luar biasa tingginya. Dengan keseragaman sifat-sifat dan
keberadaannya, maka peluang pengolahannya menjadi produk samping menjadi sangat
prospektif. Kompos, kertas, dan papan partikel merupakan produk samping potensial
yang umum dikenal. Sebaliknya, potensi pemanfaatannya untuk menghasilkan energi,
terutama listrik, belum banyak dipahami.
Beberapa penelitian telah berhasil mengungkap potensi nilai energi dari beberapa jenis
limbah padat organik kelapa sawit. Kecuali pelepah yang ditumpuk di lapangan dan
batang kelapa sawit yang tersedia setiap 20-25 tahun sekali, limbah-limbah tersebut
memiliki jumlah dan kesinambungan pasokan yang ajeg dan tempatnya tidak terpencar.
Secara nasional terdapat sekitar 205 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Indonesia di mana
sekitar 86 persen berada di luar Jawa. Produksi tandan buah segar (TBS) tahun 2004
diperkirakan mencapai 53,8 juta ton dan limbah padat organik berupa tandan kosong
kelapa sawit (TKKS) sebesar 12,4 juta. Oleh karena nilai energi panas (calorific value)
dari TKKS sebagai bahan bakar generator listrik dapat mencapai 18 796 kJ/kg, maka
energi yang dihasilkan dapat dikonversikan menjadi listrik dengan jumlah yang cukup
signifikan. Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 200 ribu ton TBS per tahun
menghasilkan 44 ribu ton TKKS (kadar air 65 persen) yang mampu membangkitkan
energi ekuivalen dengan 2,3 MWe (megawatt-electric) pada tingkat efisiensi konversi
25 persen.
Potensi biogas yang dapat dihasilkan dari pengolahan limbah cair juga sangat
menjanjikan. Dari 600-700 kg limbah cair dapat diproduksi sekitar 20 meter kubik
biogas. Dengan mengacu pada data produksi tahun 2004, limbah cair yang dihasilkan
diperkirakan mencapai 37.633 juta ton. Volume yag luar biasa besarnya ini bisa
menghasilkan biogas mencapai 1075 juta meter kubuk. Jika nilai kalor biogas rata-rata
berkisar antara 4700-6000 kkal/m3 atau 20-24 MJ/m3, maka produksi biogas sebesar itu
setara dengan 516 ribu ton gas LPG, 559 juta liter solar, 665,5 juta liter minyak tanah,
atau 5052,5 MWh listrik. Ini tentu bukan nilai yang dapat hanya dipandang sebelah
mata. Apalagi jika asumsi tahun 2010 Pulau Jawa akan kehabisan listrik itu benar
adanya.
Potensi limbah cair sebagai penghasil listrik sudah dikembangkan di Malaysia. Sejak
tahun 2001 negara jiran ini melaksanakan program yang disebut dengan Small
Renewable Energy Programme (SREP). Salah satu energi terbarukan yang
dikembangkan dalam program ini adalah mengolah limbah cair PKS menjadi biogas.
Bumibiopower (Pantai Remis) Sdn Bhd adalah salah satu perusahaan di Malaysia yang
melaksanakan proyek produksi biogas tersebut. Biogas yang dihasilkan selanjutnya
dimanfaatkan untuk generator listrik dengan kapasitas 1-1,5 MW.
Teknologi sederhana
Alternatif lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah padat kelapa sawit
yang paling sederhana adalah menjadikannya briket arang. Caranya dengan pemadatan
melalui pembriketan, pengeringan, dan pengarangan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit
telah berhasil merancang bangun paket teknologi untuk produksi briket arang ini, baik
dari bahan TKKS maupun cangkang sawit. Karena sifat bahan yang berbeda, bahan
TKKS memerlukan tungku tipe vertikal, sedang untuk cangkang diperlukan tungku
horizontal guna menghasilkan arang bermutu tinggi (Nilai Kalor > 5000 kalori/gram).
Proses pembriketan dapat dilakukan dengan mesin pembriket tipe ulir dengan kapasitas
satu ton per hari. Mesin ini menghasilkan briket arang berbentuk silinder dengan
diameter 5 cm dan panjang 10-30 cm sesuai dengan ukuran briket arang komersial dari
serbuk gergaji. Keunggulan produk arang ini antara lain karena permukaannya halus
dan tidak meninggalkan warna hitam bila dipegang.
Kepanikan akibat kenaikan BBM di masyarakat tentu bukan sebuah hiburan sinetron
yang pantas kita saksikan. Dilema yang dihadapi pemerintah tentunya bisa dipahami
jika ukuran-ukuran solusi terhadap dampak bergandanya dapat diformulasikan secara
jelas dan akurat.
Tersedianya bahan baku yang melimpah-ruah (minyak sawit), prospek tanaman baru
penghasil minyak (minyak jarak), hasil karya tumpah-keringat para peneliti anak
bangsa, dan kebutuhan mendesak masyarakat terhadap kecukupan energi yang
berkelanjutan tentunya menjadi pertimbangan yang cukup bagi pemerintah dalam
memutuskan kemana bangsa ini akan menggantungkan kebutuhan energinya di masa
yang akan datang. Kinilah saatnya untuk memberikan lebih kepada rakyat, sebelum
rakyat memintanya kembali.
D i d i e k H a d j a r G o e n a d i
Penulis adalah Direktur Eksekutif LRPI
Dimuat pada harian surat kabar Republika, 25 Pebruari 2006.
Ahli Peneliti Utama Tanah dan Pemupukan
Tekad pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla mencabut subsidi BBM
tahun lalu dengan segala konsekuensinya telah mulai diwujudkan dengan mencari
berbagai solusi tekno-sosio-ekonomi. Di antara berbagai solusi itu adalah
pengembangan bahan bakar alternatif berbahan baku nabati atau bahan bakar nabati
(biofuels).
Pemerintah serius menggarap program ini secara menyeluruh. Itu ditunjukkan oleh
terbitnya Peraturan Presiden No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan
Instruksi Presiden No 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain pada 25 Januari 2006.
Namun, perjalanan masih jauh. Karena banyak integrasi dan konsolidasi programprogram
tersebut di tingkat operasional masih terkesan latah tanpa dilandasi analisis
kritis yang lebih masuk akal.
Tanaman minyak
Di akhir tahun lalu, penulis telah menyampaikan masalah tekno-ekonomi biodiesel
berbasis minyak sawit (BMS) dalam sebuah harian nasional. Namun, karena tidak
adanya skema kebijakan yang kondusif bagi investor untuk memulai usaha ini, dan
mereka harus bersaing dengan mata dagangan bersubsidi, belum banyak pihak yang
tergerak untuk mengembangkannya. Bagi Indonesia, areal tanaman kelapa sawit seluas
lebih dari lima juta hektar saat ini merupakan kekuatan yang luar biasa dalam menjamin
ketersediaan bahan baku BMS secara berkelanjutan. Dalam kerangka kebijakan
komoditi nasional, produksi BMS menjadi salah satu opsi pengendali harga minyak
sawit kasar (CPO) ketika pasokannya berlimpah dan harga tertekan.
Kalaupun harga BMS saat ini belum kompetitif, pasar dunia membutuhkan cukup
banyak pasokan dengan harga yang sangat menarik sekitar 370 dolar AS per metrik ton.
Dengan kata lain, industri BMS perlu dikembangkan dan untuk jangka pendek
memenuhi permintaan pasar ekspor. Keuntungan bersih yang bisa diperoleh dapat
mencapai 150 dolar AS per metrik ton. Sementara itu, Indonesia beberapa bulan ini
seperti terserang wabah demam jarak pagar (jatropha curcas L) karena adanya
keyakinan bahwa tanaman ini adalah salah satu gantungan sumber energi masa depan
rakyat Indonesia.
Sayangnya, program yang sudah secara gencar digerakkan oleh pemerintah ini kurang
didukung oleh perhitungan ekonomi dan pemahaman teknis budidaya yang memadai.
Terkesan program ini terburu-buru dipromosikan, padahal kesiapan kita dalam
menyiapkan bahan tanaman masih jauh, teknik budidaya yang aman belum dikuasai,
ukuran teknologi pengolahan tingkat petani masih asumsi teoritis, dan asumsi harga
pembelian biji jarak kering yang terlalu rendah (Rp 500 per kilogram).
Persoalan ini akan muncul ketika petani didorong untuk menanam dan menjual hasilnya
kepada pihak pengolah biji dan berharap taraf hidup mereka membaik. Namun,
persoalan tidak banyak terjadi jika mereka menanam untuk kebutuhannya sendiri, baik
untuk memenuhi kebutuhan minyak bakar pengganti minyak tanah atau solar bagi
nelayan.
Selain itu, satu aspek yang perlu diwaspadai dengan sangat hati-hati adalah sifat
beracunnya minyak jarak pagar. Oleh sebab itu, sangatlah bijak jika pemerintah
melarang penanaman jarak pagar di wilayah perkebunan kelapa sawit.
Limbah listrik
Dari kegiatan industri kelapa sawit akan dihasilkan berbagai jenis limbah padat maupun
cair. Karena volume panen yang cukup tinggi per tahun, maka volume limbah yang
dihasilkan juga luar biasa tingginya. Dengan keseragaman sifat-sifat dan
keberadaannya, maka peluang pengolahannya menjadi produk samping menjadi sangat
prospektif. Kompos, kertas, dan papan partikel merupakan produk samping potensial
yang umum dikenal. Sebaliknya, potensi pemanfaatannya untuk menghasilkan energi,
terutama listrik, belum banyak dipahami.
Beberapa penelitian telah berhasil mengungkap potensi nilai energi dari beberapa jenis
limbah padat organik kelapa sawit. Kecuali pelepah yang ditumpuk di lapangan dan
batang kelapa sawit yang tersedia setiap 20-25 tahun sekali, limbah-limbah tersebut
memiliki jumlah dan kesinambungan pasokan yang ajeg dan tempatnya tidak terpencar.
Secara nasional terdapat sekitar 205 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Indonesia di mana
sekitar 86 persen berada di luar Jawa. Produksi tandan buah segar (TBS) tahun 2004
diperkirakan mencapai 53,8 juta ton dan limbah padat organik berupa tandan kosong
kelapa sawit (TKKS) sebesar 12,4 juta. Oleh karena nilai energi panas (calorific value)
dari TKKS sebagai bahan bakar generator listrik dapat mencapai 18 796 kJ/kg, maka
energi yang dihasilkan dapat dikonversikan menjadi listrik dengan jumlah yang cukup
signifikan. Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 200 ribu ton TBS per tahun
menghasilkan 44 ribu ton TKKS (kadar air 65 persen) yang mampu membangkitkan
energi ekuivalen dengan 2,3 MWe (megawatt-electric) pada tingkat efisiensi konversi
25 persen.
Potensi biogas yang dapat dihasilkan dari pengolahan limbah cair juga sangat
menjanjikan. Dari 600-700 kg limbah cair dapat diproduksi sekitar 20 meter kubik
biogas. Dengan mengacu pada data produksi tahun 2004, limbah cair yang dihasilkan
diperkirakan mencapai 37.633 juta ton. Volume yag luar biasa besarnya ini bisa
menghasilkan biogas mencapai 1075 juta meter kubuk. Jika nilai kalor biogas rata-rata
berkisar antara 4700-6000 kkal/m3 atau 20-24 MJ/m3, maka produksi biogas sebesar itu
setara dengan 516 ribu ton gas LPG, 559 juta liter solar, 665,5 juta liter minyak tanah,
atau 5052,5 MWh listrik. Ini tentu bukan nilai yang dapat hanya dipandang sebelah
mata. Apalagi jika asumsi tahun 2010 Pulau Jawa akan kehabisan listrik itu benar
adanya.
Potensi limbah cair sebagai penghasil listrik sudah dikembangkan di Malaysia. Sejak
tahun 2001 negara jiran ini melaksanakan program yang disebut dengan Small
Renewable Energy Programme (SREP). Salah satu energi terbarukan yang
dikembangkan dalam program ini adalah mengolah limbah cair PKS menjadi biogas.
Bumibiopower (Pantai Remis) Sdn Bhd adalah salah satu perusahaan di Malaysia yang
melaksanakan proyek produksi biogas tersebut. Biogas yang dihasilkan selanjutnya
dimanfaatkan untuk generator listrik dengan kapasitas 1-1,5 MW.
Teknologi sederhana
Alternatif lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah padat kelapa sawit
yang paling sederhana adalah menjadikannya briket arang. Caranya dengan pemadatan
melalui pembriketan, pengeringan, dan pengarangan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit
telah berhasil merancang bangun paket teknologi untuk produksi briket arang ini, baik
dari bahan TKKS maupun cangkang sawit. Karena sifat bahan yang berbeda, bahan
TKKS memerlukan tungku tipe vertikal, sedang untuk cangkang diperlukan tungku
horizontal guna menghasilkan arang bermutu tinggi (Nilai Kalor > 5000 kalori/gram).
Proses pembriketan dapat dilakukan dengan mesin pembriket tipe ulir dengan kapasitas
satu ton per hari. Mesin ini menghasilkan briket arang berbentuk silinder dengan
diameter 5 cm dan panjang 10-30 cm sesuai dengan ukuran briket arang komersial dari
serbuk gergaji. Keunggulan produk arang ini antara lain karena permukaannya halus
dan tidak meninggalkan warna hitam bila dipegang.
Kepanikan akibat kenaikan BBM di masyarakat tentu bukan sebuah hiburan sinetron
yang pantas kita saksikan. Dilema yang dihadapi pemerintah tentunya bisa dipahami
jika ukuran-ukuran solusi terhadap dampak bergandanya dapat diformulasikan secara
jelas dan akurat.
Tersedianya bahan baku yang melimpah-ruah (minyak sawit), prospek tanaman baru
penghasil minyak (minyak jarak), hasil karya tumpah-keringat para peneliti anak
bangsa, dan kebutuhan mendesak masyarakat terhadap kecukupan energi yang
berkelanjutan tentunya menjadi pertimbangan yang cukup bagi pemerintah dalam
memutuskan kemana bangsa ini akan menggantungkan kebutuhan energinya di masa
yang akan datang. Kinilah saatnya untuk memberikan lebih kepada rakyat, sebelum
rakyat memintanya kembali.
D i d i e k H a d j a r G o e n a d i
Penulis adalah Direktur Eksekutif LRPI
Dimuat pada harian surat kabar Republika, 25 Pebruari 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar